Trialektika Agama, Budaya, Politik

Deskripsi

Menurut Arnold Gehlen, manusia lahir 'prematur' karena lemah secara biologis. Kelemahan biologis ini dikompensasikan dengan budaya yang membuat manusia bisa 'mengatasi' alam. Budaya merupakan hasil daya cipta manusia melalui akal budinya, namun seringkali malah menjadi berbenturan dengan agama sebagai tuntunan hidup bagi manusia dari Tuhan. Dalam bahasa Latin, kata religio dikaitkan dengan re-ligare yang berarti mengikat kembali. Hal ini seakan mengisyaratkan bagaimana daya cipta manusia melalui budaya yang bebas seperti berbenturan dengan religi (agama) yang mencoba mengikat kembali 'kebebasan' tersebut agar terus menerus berpaling kepada sesuatu (relegare). Di sisi lain, politik — yang berasal dari kata 'polis' (negara kota di Yunani) — definisinya yang paling umum adalah 'tatanan hidup bersama' yang bukan berdasarkan ras, etnis, agama atau pun perbedaan gender, melainkan komunitas hidup bersama yang dibentuk oleh konstitusi, sebab merupakan perpindahan dari kondisi 'hidup tidak bersama'.

Lalu, bagaimana jadinya jika agama, budaya dan politik bertemu? Trialektika inilah yang ingin coba dibahas dalam antologi ini. Mulai dari primordialisme dan budaya, lalu beralih ke pertanyaan apakah negara teokrasi memang perlu atau pluralisme dan dialog antar budaya yang dikedepankan? Bagaimana dengan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk memeluk suatu agama namun memilih ideologi non-teokrasi, yaitu Pancasila? Bagaimana dengan wajah agama yang kerap diidentikkan dengan kekerasan, dan diantaranya dalam bentuk represi terhadap perempuan dan kebebasan berpikir? Buku ini kemudian juga membahas wilayah sastra, media digital dan film. Pembahasan ditutup dengan maraknya fenomena hijrah di komunitas subkultur dan pemusik underground.

Inilah buku antologi yang disusun dari hasil diskusi selama lebih kurang 2 tahun, kerjasama Studia Humanika Salman ITB dan Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD ITB. [ ]